Minggu, 08 November 2009

Satria Cungkup

Oleh : Muttakhid eL Fahmi


Langkahku terhenti di sebuah bukit, setelah sekian lama berjalan mendaki di antara pohon-pohon hutan mahoni.

Aku berdiri di tepian tanah lapang, selebar dua kali lapangan sepak bola, tapi hanya sebagian saja yang rata. Selebihnya, gundukan-gundukan besar setinggi badanku yang saat itu berumur dua belas tahun. Menginjak SMP.

Angin kemarau datang membawa panas, meniup pohon-pohon bambu di ujung pandanganku. Mengayun-ayun, membentuk gelombang di garis batas kaki langit, ujung cakrawala. Suaranya berkereot-reot—seperti keratan gigi sehabis makan bajangan (mangga muda yang asam) beramai-ramai, riuh di tengah kesunyian.

Kreket… kreket… kreket….

Jajaran bambu Bungkok lebat itu seperti berjalan pelan, berirama, mengelilingi tanah lapang di hadapanku. Sama sekali tak kutemukan celah untuk memandang jauh di balik lebatnya pohon bambu.

Gelap, seperti pintu menuju alam gaib.

Tak sadar mataku telah berwisata, memutar, berkeliling. Yang ada di pikiran—cerita orang-orang tentang kampung gaib yang dihuni lelembut topeng perak di balik lebatnya hutan bambu.

Cuaca panas. Udara seperti membakar, menerobos kedua lubang hidungku berbarengan bau menyengat semerbak pangkal lipatan tanganku.

Nafasku masih sedikit tersengal.

Houf… houf… houf….

Sendirian mendaki sejauh dua kilometer. Hanya ingin mendengar cerita kampung gaib dan kuburan lelembut topeng perak. Tapi, sedari tadi aku belum juga melihat kuburan itu.

Sepi….

Desiran angin kemarau menerjang ilalang kuning, mengering. Terhampar setinggi perutku. Tak ada cericit burung Serigunting atau Kutilang. Apalagi kambing piaraan yang mengembek, bergerombol, melahap rerumputan tanah lapang yang sebagian masih menghijau itu. Siang—seperti telah mengusirnya atau mereka ketakutan dengan gerombolan lelembut topeng perak yang sewaktu-waktu bisa datang menyambar. Orang-orang kampung sekitar sering menceritakannya.

***

Aku duduk, menyandarkan badan yang lelah—di bawah pohon besar mahoni. Ya, aku sendiri, di tempat sesunyi ini. Ini adalah pekerjaan menyenangkan yang sering aku lakukan—di antara waktu liburan sekolah yang membuatku jenuh karena terlalu banyak nonton televisi. Aku tidak terlalu suka dengan keramaian. Apalagi teman-teman yang menyombongkan diri dengan play station. Permainan manja yang menyia-nyiakan waktu.

Peluhku belum juga mengering. Tenggorokanku semakin terasa tercekik—seperti tidak mendapat minum berhari-hari. Kumencoba membuka tas kecil dengan tangan meraba. Mataku masih mewisata di balik ilalang yang mengayun kegirangan. Kucari-cari botol kecil berisi air belik yang kudapati di tengah perjalanan mendaki. Semua orang tahu belaka bahwa perbukitan ini terkenal dengan belik-belik kecil berair jernih. Seperti oase di padang pasir Arab semasa Muhammad mendakwahkan Islam. Sumber mata air itu tak akan kering meski kemarau bertahun-tahun.

Celaka! Botol airku tidak ada di dalam tas.

Terus saja aku mengaduk-aduk isi dalam tas. Hanya ada sebuah novel karya Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit, dan blocknote serta dua bolpoin merah pemberian ayahku. Tiba-tiba, tanganku muncul di bagian bawah tas.

"Wah, tasku berlubang!"

Sebuah sayatan di tasku telah membuatku semakin lemas. Wajahku pucat pasi. Aliran darah terasa berhenti di otak belakang. Pikiranku melayang, benda apa yang telah menyayat tas kesayanganku ini, ransel kain terpal warisan kakakku yang pernah ikut Jambore Nasional di Cibubur. Mataku berkaca-kaca. Ingin sekali aku menangis. Tapi aku lelaki. “Lelaki tidak boleh menangis.” kata ibu. Dengan tubuh yang sangat lemas dan tak seimbang, aku mencoba berdiri. Tapi gagal. Dalam hati aku bergumam, “Tidak mungkin aku berjalan menuruni bukit kembali menuju belik yang berjarak lebih dari 500 meter.”

Di tengah keputusasaanku, suara menderu-deru menghampiri telinga. Suara itu muncul dari balik hutan bambu. Seperti gerombolan hewan ternak yang ketakutan dikejar harimau. Hatiku bertanya-tanya ketakutan, “Jangan-jangan pasukan lelembut topeng perak berkuda putih yang menuju kemari."

Lama-lama terdengar seperti hentakan kaki kuda yang berjumlah ratusan.

Kepalaku pusing. Aku masih belum berhasil berdiri. Badan lemasku terasa membebani. Kupaksa-paksakan untuk berdiri. Ayo, kamu bisa. Dan akhirnya, berhasil. Baru saja, kakiku melangkah lima belas meter, pandanganku mulai kabur. Alam serasa berputar-putar mengelilingiku. Ilalang dan hutan bambu bergerak, berjalan, berlari, melawan arah jarum jam secepat kereta eksekutif jurusan Surabaya-Bandung. Tubuhku tehuyung, dan roboh dalam posisi merangkak. Rasa ingin tahuku masih menyeruak. Kuat sekali. Dengan sisa tenaga, kupaksakan tubuhku mendekati gundukan tanah paling dekat dengan merangkak. Suara menderu itu telah pergi saat aku telah mencapai gundukan. Tapi, langkah seekor kuda mendekat pelan menuju ke arahku. Aku sudah tak memiliki tenaga untuk menyangga kepalaku. Tubuhku tengkurap memeluk gundukan tanah yang mulai didekati langkah seekor kuda itu.

Samar-samar mataku menerawang, seorang penunggang kuda putih yang gagah di hadapanku. Tubuhnya terbalut kain putih. Wajahnya bertopeng perak dengan sorot mata yang tajam seakan ingin memotong-motong tubuhku menjadi lima. Rambutnya putih panjang, bercahaya. Jenggot dan kumisnya pun putih tak rapi. Dua buah gigi taringnya meneteskan darah, menyeringai, menyeramkan--seperti mau melumat leherku dan menghisap darah segar perjakaku hingga habis, seraya berkata, “Inilah kekuatan abadi.”

Lemas. Tak sedikit pun denyut jantungku terasa, “Sepertinya aku telah mati.”

***

Malam datang tanpa permisi. Tak terasa, jiwaku melayang ke alam gelap di balik hutan bambu. Tak terdengar suara manusia berbicara. Hanya mantra-mantra yang tak kupahami, dan diakhiri dengan suara lolongan serigala, keluar keras dari mulut bertaring puluhan lelembut yang wajahnya tak kukenali. Persis seperti penunggang kuda siang tadi. Kakinya tak menginjak tanah, melayang. Hampir semua penghuni kampung gaib ini memiliki rupa yang sama. Mereka memutar cepat searah jarum jam mengitari tubuhku. Terbujur kaku, tak bisa bergerak di atas tumpukan bambu Bungkok kering. Di bawah purnama yang menyinari wajahku, mantra-mantra itu semakin menyiksa. Tubuhku seperti diikat kuat roh-roh lelembut yang keluar dari mulut bertaring itu. Takutku menjadi basa, “Akulah korban berikutnya untuk dewa sesembahan mereka.”

Pasrah.

Tak bisa menjerit meminta tolong. Lidahku kelu, seperti dibungkam raksasa besar, Algojo para lelembut topeng perak. Tangan dan kakiku kaku, layaknya habis direndam salju berhari-hari.

Hatiku menjerit ketakutan, “Jangan bakar aku! Jangan memanggangku!”

Purnama seperti mendengar ratapan hatiku. Ia meredup—seiring awan tebal gelap yang menutupinya. Halilintar menyambar-nyambar persis di atas kepalaku.

Hatiku berharap cemas, “Wahai, hujan turunlah sederas-derasnya!”

Tapi, awan-awan tebal gelap yang menyebarkan halilintar itu mulai menipis. Sinar purnama terlihat samar-samar di balik gumpalan-gumpalan awan. Dengan cepat gumpalan awan membentuk kepala orang tua yang besar. Berkumis dan berjenggot putih, menyeramkan. Inikah raja lelembut topeng perak. Matanya merah padam. Ia tak bertopeng. Keriput di pipinya menandakan sudah berabad-abad ia menghuni kampung gaib. Giginya pun bertaring—meneteskan darah segar yang jatuh tepat di keningku.

Lalu. Kepala awan besar itu menyemburkan api. Melingkar di belakang puluhan lelembut topeng perak. Mereka masih membaca mantra-mantra yang diakhiri suara lolongan serigala. Terkadang, lolongan-lolongan itu bersaut-sautan. Api semakin tinggi membahana, membuncah, menjilat-jilat, seperti terpengaruh oleh kekuatan mantra-mantra yang dibaca semakin keras dan cepat oleh mulut-mulut bertopeng itu.

Lusaza… lusaza… bandaza… bandaza…
auuu… auuu… auuu….

Hatiku sudah tak berani berkutik. Kosong. Hampa. Bening, tanpa keinginan. Pasrah, tanpa harapan. Hasrat hidupku tiba-tiba berhenti.

Di atas kepalaku, bayangan orang-orang dekat melayang-layang. Menunjukkan raut muka kesedihan. Ibuku mengucurkan air mata tiada henti. Ayah mencopot kaca mata baca dan mengusap matanya yang berlinang air mata. Kakak menangis sesenggukan, menutup mulutnya dan melambaikan tangan kepadaku. Pak Kholik, guruku paling penyabar di sekolah terdiam kelu sambil merapatkan kedua telapak tangannya menutupi hidung dan mulutnya. Bik Emi, pembantuku di rumah, tersenyum sambil menangis dan mengacungkan jempolnya pertanda salut atas keberanianku menghadapi maut. Yani, teman sebangku di sekolah, menunduk tak berani menatapku. Mereka sepertinya merasakan penderitaan yang saat ini kualami. Meski tak tahu di mana aku berada. Mereka seperti larut dalam ketidakberdayaan dan kesendirianku saat ini. Mungkin karena aku sering menceritakan kepada mereka isi novel-novel yang pernah kubaca. Novel-novel hadiah ulang tahun dari kakakku.

***

Samar-samar mataku terbuka. Telingaku mendengar pembicaraan yang begitu riuh di sekelilingku. Perkataan mereka tak bisa kutangkap. Kepalaku masih pusing. Pandangan mataku masih belum juga jelas, kabur. Aku berusaha memelototkan mata. Berat. Hanya warna-warna tak berbentuk bersemayam di pelupuk mata. Merah, hijau, biru, dan coklat. Bergerak lamban layaknya campuran cat minyak yang diaduk pelan.

Lidahku masih kelu. Suara riuh itu semakin menyeruak--seperti membungkam mulutku. Orang-orang semakin mendekati tubuhku yang mulai bergerak. Meski masih terbaring lunglai. Masih tak jelas suara mereka. Berkali-kali aku berusaha untuk membelalakkan mata. Tetap saja, warna-warna memburam itu yang tampak. Semakin lama kurasakan menusuk mata. Mataku sedikit mulai melihat.

Tepat di telingaku, suara lembut seorang lelaki mendengung, “Nak, kamu sudah sadar?”

Jiwaku mulai kembali. Dalam hati kubertanya sendiri, “Di mana aku ini?”

Hidungku seperti tak mengenal tempat kuberbaring. Baunya seharum rebusan daun pandan. Natural. Alami.

Ternyata. Ibu-ibu, perempuan-perempuan perkasa, merubungku. Puluhan dunak dipenuhi berbagai macam kue basah berjajar--dua meter di sebelah kananku. Inilah pemandangan indah yang pertama kali kulihat, setelah satu jam rabun. Kampung penjual kue pasar yang telah lama kudengar dari ibu. Beliau adalah mantan bidadari penjual kue basah di Pasar Sruwen. Bidadari yang berjalan sepanjang sepuluh kilometer dari bukit ke pasar di waktu fajar. Setelah menikah dengan ayah, ibu mengurus rumah di balik Bukit Sruwen--rumah kami. Sesekali berkunjung ke Sruwen menengok nenek. Namun, sepeninggal nenek, saat aku masih berumur tiga bulan, ibu tak pernah ke Sruwen lagi.

Aku tersenyum. Puluhan bidadari itu serempak menyambut siumanku, “Alhamdulillah!”

Senyumku semakin mengembang. Di ruang tengah sebuah rumah gedek, di atas balai bambu, aku masih terbujur. Dua buah genting kaca membiaskan sinar punama yang belum hengkang dari fajar. Jam dinding butut tertempel di salah satu sisi gedek. Lampu teplok kecil menyinarkan cahaya di atasnya. Jarum pendek menunjuk angka empat.

Para Bidadari telah pergi membawa dunak-dunak di punggungnya. Mata mereka membinarkan optimisme, yang tak pernah kulihat di mata pejabat mana pun. Punggungnya adalah masa depan anak-anak Bukit Sruwen yang sekolah di kota Kecamatan, dua puluh kilometer dari rumah. Kaum lelaki tidak bisa diandalkan dengan pekerjaan bertaninya. Di masa kemarau begini, cangkul-cangkul mereka bersih dari tanah berwarna hitam, lempung Bukit Sruwen. Maka, jangan heran kalau perjudian semakin marak saja. Selain menjadi petani tanpa penghasilan, mereka hanya bisa berjudi. Maklum, Sekolah Dasar saja tidak lulus. Sebenarnya mereka ingin berubah. Setiap di tanya tentang cita-cita anaknya, mereka selalu cepat menjawab: dokter, insinyur, wartawan, atau, pengusaha. Dengan ilmu dan modal yang minim, mana mungkin mereka berubah. Kata ayah, “Mereka adalah tanggung jawab pemerintah.”

Orang tua seumuran kakekku datang mendekat. Pakaiannya seba putih, berkopiah, seperti habis salat subuh. Giginya habis dimakan usia. Hanya dua gigi taring terlihat kokoh saat tertawa. Sepertinya dia tidak pernah menggunakannya untuk makan daging sate kambing. Dia mengaku sebagai penjaga Kuburan Cungkup di tanah lapang.

Semenjak itu, aku baru tahu bahwa dialah Satria Cungkup, pengusir kawanan serigala yang menggali kuburan-kuburan baru dengan kuku-kuku hitamnya. Menurut orang-orang, segerombolan serigala bersembunyi di balik hutan bambu yang aku temui kemarin. Serigala itu memiliki kepala berbulu lembut, berwarna perak. Tak heran jika orang kampung menyebutnya lelembut topeng perak. Penyebutan itu sama melegendanya dengan gelar Satria Cungkup yang di berikan secara turun menurun kepada penjaga kuburan. Tapi, saat di tanah lapang kemarin, sama sekali tak terlihat ada kuburan yang disebut-sebut sebagai Kuburan Cungkup itu.

“Ah, liburan ini aku terlalu banyak menonton televisi. Hampir semua acaranya berbau klenik dan alam gaib imajinasi sang sutradara.” gumamku dalam hati.

“Aku adalah kakekmu. Ayah dari ibumu.” suara kakek tua itu berat, membuatku merinding.


Selisik Diaspora
Yogyakarta, 23 September 2006

--------------------------------------------------------
Muttakhid eL Fahmi lahir di Rembang, Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Buku pertamanya: Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (2005).
--------------------------------------------------------
Foto :http://lifestylemagazine.wordpress.com