Sabtu, 28 November 2009

Dialog Allah dengan hambaNya


Menurut keterangan Abu Hurairah r.a, saya pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Allah Berfirman: Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku, sebagian untuk-Ku dan sebagian untuk hamba-Ku yang juga dapat memiliki apapun yang dia minta."

Jadi, ketika sang hamba berkata [dalam membaca Al-Fatihah],
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”,
Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang mengingat-Ku.”
Ketika sang hamba berkata, ''Segala Puji bagi Allah, Rabb Semesta Alam'',
Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang memuji-Ku.”
Ketika sang hamba berkata, ''Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang'',
Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang menyanjung-Ku.”
Ketika sang hamba berkata, ''Yang Menguasai Hari Pembalasan'',
Allah berfirman, “Hamba-Ku sedang memuliakan-Ku.”
Jadi, seluruh separuh yang pertama dari Al-Fatihah ini adalah kepunyaan Allah.
Kemudian sang hamba berkata,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan'',
dan Allah berfirman, “Ini dibagi antara Aku dan hamba-Ku, dan baginya adalah apapun yang dia minta,”
Kemudian sang hamba berkata, “Tunjukilah kami jalan yang lurus. [Yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan [jalan] mereka yang dimurkai dan bukan [pula jalan] mereka yang sesat”,
Allah pun berfirman, “[Ayat-ayat] ini disediakan untuk hamba-Ku yang dapat memiliki apapun yang dia minta.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, Al-Imam Abu Dawud dll. Hadits ini disebut Hadits Qudsiy, yaitu sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang meriwayatkan firman Allah ‘Azza wa-Jalla (firman selain Al-Qur’an).


------------------------------------------------------------------------------
Foto : http://dpcpasarminggu.files.wordpress.com/2008/10/ramadan31-s.jpg



Selengkapnya...

Minggu, 22 November 2009

Aqlun vs Natiqun


Logika adalah daya pikir yang didominasi nafsu yang tercela (amarah), sifatnya subjektif. Yg jadi subjek diri sendiri, bukan Allah.

Akal adalah daya pikir yang didominasi hati (yang sudah mulai bebas dari kotoran dosa-dosa besar dan karenanya terbimbing Allah); nafsu sudah terpuji (tunduk pada kehendak serta rencana Allah; nafsu mau dudukan diri sebagai objek, bukan subjek; nafsu sudah ridha pada Allah sebagai Rabb-nya yang Maha Kuasa, nafsu hanya melaksanakan kehendak Allah saja).

Jadi sifat logika pasti subjektif; sifat akal objektif.

----------------------------------------------------------------------------------
Penjelasan singkat Taufiq Thoyib, Yayasan Badiyo-Malang, Jawa Timur, Indonesia
----------------------------------------------------------------------------------
Foto : http://img145.imageshack.us/img145/496/pancuranok9rt.jpg
Selengkapnya...

41 Keistimewaan Wanita


Berbahagialah Menjadi Seorang Wanita Karena diberi Keistimewaan Oleh Allah seperti hal-hal di bawah ini :

1. Do'a wanita lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda : " Ibu lebih penyayang daripada Bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia."

2. Wanita yang solehah ( baik ) itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang soleh.

3. Barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seperti orang yang senantiasa menangis Karena takut Allah SWT dan orang yang takut Allah SWT akan diharamkan api neraka keatas tubuhnya.

4. Barang siapa yang membawa hadiah ( barang, makanan dari pasar kerumah ) lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedakah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barang siapa yang menyukai akan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail A.S

5. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya, akan tinggal bersama aku ( Rasulullah SAW ) di dalam surga.

6. Barang siapa yang mempunyai tiga anak perempuan atau tiga Saudara perempuan atau dua Saudara perempuan , lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggung jawab, maka baginya adalah surga.

7. Dari Aisyah r.a. "Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada mereka , maka mereka akan menjadi penghalang baginya api neraka."

8. Surga itu di bawah telapak kaki ibu.

9. Apabila memanggilmu dua orang ibu bapamu maka jawablah panggilan ibumu dahulu.

10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga . Masuklah dari manapun pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

11. Wanita yang taat pada suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristigfar baginya selama dia taat kepada suaminya dan rekannya ( serta menjaga sembahyang dan puasanya ).

12. Aisyah r.a. berkata " aku bertanya pada rasulullah SAW, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab baginda "suaminya". Siapa pula berhak terhadap lelaki?" jawab Rasulullah SAW "Ibunya"

13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat pada suaminya, masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki

14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia kedalam surga lebih dahulu daripada suaminya ( 10.000 tahun )

15. Apabila seorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristigfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1000 kejahatan.

16. Apabila seorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah SWT

17. Apabila seorang perempuan melahirkan anak, keluarlah ia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkan

18. Apabila telah lahir ( anak ) lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan dari susunya diberi satu kebajikan

19. Apabila semalaman ( ibu ) tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT

20. Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.

21. Seorang wanita yang jahat adalah lebih buruk daripada 1,000 lelaki yang jahat.

22. 2 rakaat solat dari wanita yang hamil adalah lebih baik daripada 80 rakaat solat wanita yang tidak hamil.

23. Wanita yang memberi minum susu kepada anaknya daripada badannya [susu badan] akan dapat satu pahala daripada tiap-tiap titik susu yang diberikannya.

24. Wanita yang melayani dengan baik suami yang pulang ke rumah di dalam keadaan letih akan mendapat pahala jihad.

25. Wanita yang melihat suaminya dengan kasih sayang dan suami yang melihat isterinya dengan kasih sayang akan dipandang Allah dengan penuh rahmat.

26. Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan Allah dan kemudian menjaga adab rumah tangganya akan masuk syurga 500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000 malaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam syurga, dan menunggu suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat daripada yakut.

27. Wanita yang tidak cukup tidur pada malam hari kerana menjaga anak yang sakit akan diampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya dan bila dia hiburkan hati anaknya Allah memberi 12 tahun pahala ibadat.

28. Wanita yang memerah susu binatang dengan 'bismillah' akan didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.

29. Wanita yang menguli tepung gandum dengan 'bismillah', Allah akan berkatkan rezekinya.

30. Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala seperti meyapu lantai di baitullah.

31. Wanita yang hamil akan dapat pahala berpuasa pada siang hari.

32. Wanita yang hamil akan dapat pahala beribadat pada malam hari.

33. Wanita yang bersalin akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa dan setiap kesakitan pada satu uratnya Allah mengurniakan satu pahala haji.

34. Sekiranya wanita mati dalam masa 40 hari selepas bersalin, dia akan dikira sebagai mati syahid.

35. Jika wanita melayani suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12 tahun solat.

36. Jika wanita menyusui anaknya sampai cukup tempoh [2 1/2 tahun], maka malaikat-malaikat di langit akan khabarkan berita bahawa syurga wajib baginya.

37. Jika wanita memberi susu badannya kepada anaknya yang menangis, Allah akan memberi pahala satu tahun solat dan puasa.

38. Jika wanita memijit suami tanpa disuruh akan mendapat pahala 7 tola emas dan jika wanita memijit suami bila disuruh akan mendapat pahala 7 tola perak.

39. Wanita yang meninggal dunia dengan keredhaan suaminya akan memasuki syurga.

40. Jika suami mengajarkan isterinya satu masalah akan mendapat pahala 80 tahun ibadat.

41. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat, tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati auratnya yaitu memakai purdah di dunia ini dengan istiqamah.

-------------------------------------------------------------------
Disalin dari : http://jeng-indhy.blogspot.com dan
http://www.pak-soleh.co.cc
-------------------------------------------------------------------
Foto : http://memuslimah.ning.com
Selengkapnya...

Rabu, 11 November 2009

Kelembutan Penuh Kasih Sayang

Pancaran Iman Dasar Jiwa Pendidik


Tampaklah Dia Allah sedang menampilkan Asma-Nya selaku Pendidik.

Digambarkan Asma-Nya sedang menuntun/membimbing hamba kepada suatu tempat.

Laksana seorang ayah sedang menuntun/membimbing anaknya (tangan si anak dipegangnya).

Demikianlah Asma-Nya yang ditampilkan agar hamba mudah menangkap didikan Kasih-Nya.

Tampaklah si anak yang sedang dibimbing-berjalan, kadang berhenti sejenak kemudian dilanjutkan.

Yah, sebagaimana lazimnya anak-anak bila dibawa berjalan-jalan oleh orang-tuanya.

Jika ada sesuatu menarik hatinya, dia pun berhenti sambil melihat kemudian sejenak bermain dengan sesuatu.

Selaku orang-tua memang sulit menghadapi si anak yang sedang tertarik pada sesuatu.

Karena fikiran anak lebih cepat tertarik terhadap apa yang dilihat seketika dengan mata-kepalanya.

Sulit bagi anak-anak memahami apa-apa yang belum dapat dilihat seketika dengan mata-kepala.

Seperti orang-tua menjelaskan: ”di sana ada tempat yang lebih indah”.

Saat orang-tua menjelaskan, sambutan sang anak sangat suka bahkan minta segera dibawa kesana.

Tetapi apa yang terjadi setelah dituntun berjalan, di tengah jalan menemukan sesuatu yang menarik hatinya.

Kemudian hati si anak berkata : ”Ini bagus sekali, ah saya mau lihat dulu”. Demikianlah diungkapkan kepada ayahnya.

Sekali dua kali orang-tua mengikuti hati si anak, kemudian secara perlahan sang anak baru diberi penjelasan.

Dijelaskan kepada si anak, bahwa sebenarnya dia akan diajak bertamasya ke tempat yang lebih indah.

Demikianlah gambaran sekilas yang Dia Allah tayangkan kepada hamba-Nya.

Hambapun tersipu malu, ternyata sang anak yang digambarkan itu adalah diri hamba sendiri.

Oh, betapa sabar Dia membimbing dan menuntun hamba untuk dibawa ke tempat yang indah.

Lembut Dia mendidik agar hamba mudah mengerti, sabar Dia berbuat agar hamba mudah merasakan kasih-Nya.

Demikianlah sikap dan sifat Allah membimbing hamba-Nya selama ini.

Nyatalah betapa kerasnya hati hamba, kelembutan dan kesabaran-Nya mendidik nyaris tak tertangkap hati.

------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku PENDIDIKAN KESADARAN RASA MEWUJUD PADA SIKAP PERILAKU LURUS KEFITRAHAN oleh Ki Moenadi MS.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Foto: Koleksi pribadi
Selengkapnya...

Minggu, 08 November 2009

Satria Cungkup

Oleh : Muttakhid eL Fahmi


Langkahku terhenti di sebuah bukit, setelah sekian lama berjalan mendaki di antara pohon-pohon hutan mahoni.

Aku berdiri di tepian tanah lapang, selebar dua kali lapangan sepak bola, tapi hanya sebagian saja yang rata. Selebihnya, gundukan-gundukan besar setinggi badanku yang saat itu berumur dua belas tahun. Menginjak SMP.

Angin kemarau datang membawa panas, meniup pohon-pohon bambu di ujung pandanganku. Mengayun-ayun, membentuk gelombang di garis batas kaki langit, ujung cakrawala. Suaranya berkereot-reot—seperti keratan gigi sehabis makan bajangan (mangga muda yang asam) beramai-ramai, riuh di tengah kesunyian.

Kreket… kreket… kreket….

Jajaran bambu Bungkok lebat itu seperti berjalan pelan, berirama, mengelilingi tanah lapang di hadapanku. Sama sekali tak kutemukan celah untuk memandang jauh di balik lebatnya pohon bambu.

Gelap, seperti pintu menuju alam gaib.

Tak sadar mataku telah berwisata, memutar, berkeliling. Yang ada di pikiran—cerita orang-orang tentang kampung gaib yang dihuni lelembut topeng perak di balik lebatnya hutan bambu.

Cuaca panas. Udara seperti membakar, menerobos kedua lubang hidungku berbarengan bau menyengat semerbak pangkal lipatan tanganku.

Nafasku masih sedikit tersengal.

Houf… houf… houf….

Sendirian mendaki sejauh dua kilometer. Hanya ingin mendengar cerita kampung gaib dan kuburan lelembut topeng perak. Tapi, sedari tadi aku belum juga melihat kuburan itu.

Sepi….

Desiran angin kemarau menerjang ilalang kuning, mengering. Terhampar setinggi perutku. Tak ada cericit burung Serigunting atau Kutilang. Apalagi kambing piaraan yang mengembek, bergerombol, melahap rerumputan tanah lapang yang sebagian masih menghijau itu. Siang—seperti telah mengusirnya atau mereka ketakutan dengan gerombolan lelembut topeng perak yang sewaktu-waktu bisa datang menyambar. Orang-orang kampung sekitar sering menceritakannya.

***

Aku duduk, menyandarkan badan yang lelah—di bawah pohon besar mahoni. Ya, aku sendiri, di tempat sesunyi ini. Ini adalah pekerjaan menyenangkan yang sering aku lakukan—di antara waktu liburan sekolah yang membuatku jenuh karena terlalu banyak nonton televisi. Aku tidak terlalu suka dengan keramaian. Apalagi teman-teman yang menyombongkan diri dengan play station. Permainan manja yang menyia-nyiakan waktu.

Peluhku belum juga mengering. Tenggorokanku semakin terasa tercekik—seperti tidak mendapat minum berhari-hari. Kumencoba membuka tas kecil dengan tangan meraba. Mataku masih mewisata di balik ilalang yang mengayun kegirangan. Kucari-cari botol kecil berisi air belik yang kudapati di tengah perjalanan mendaki. Semua orang tahu belaka bahwa perbukitan ini terkenal dengan belik-belik kecil berair jernih. Seperti oase di padang pasir Arab semasa Muhammad mendakwahkan Islam. Sumber mata air itu tak akan kering meski kemarau bertahun-tahun.

Celaka! Botol airku tidak ada di dalam tas.

Terus saja aku mengaduk-aduk isi dalam tas. Hanya ada sebuah novel karya Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit, dan blocknote serta dua bolpoin merah pemberian ayahku. Tiba-tiba, tanganku muncul di bagian bawah tas.

"Wah, tasku berlubang!"

Sebuah sayatan di tasku telah membuatku semakin lemas. Wajahku pucat pasi. Aliran darah terasa berhenti di otak belakang. Pikiranku melayang, benda apa yang telah menyayat tas kesayanganku ini, ransel kain terpal warisan kakakku yang pernah ikut Jambore Nasional di Cibubur. Mataku berkaca-kaca. Ingin sekali aku menangis. Tapi aku lelaki. “Lelaki tidak boleh menangis.” kata ibu. Dengan tubuh yang sangat lemas dan tak seimbang, aku mencoba berdiri. Tapi gagal. Dalam hati aku bergumam, “Tidak mungkin aku berjalan menuruni bukit kembali menuju belik yang berjarak lebih dari 500 meter.”

Di tengah keputusasaanku, suara menderu-deru menghampiri telinga. Suara itu muncul dari balik hutan bambu. Seperti gerombolan hewan ternak yang ketakutan dikejar harimau. Hatiku bertanya-tanya ketakutan, “Jangan-jangan pasukan lelembut topeng perak berkuda putih yang menuju kemari."

Lama-lama terdengar seperti hentakan kaki kuda yang berjumlah ratusan.

Kepalaku pusing. Aku masih belum berhasil berdiri. Badan lemasku terasa membebani. Kupaksa-paksakan untuk berdiri. Ayo, kamu bisa. Dan akhirnya, berhasil. Baru saja, kakiku melangkah lima belas meter, pandanganku mulai kabur. Alam serasa berputar-putar mengelilingiku. Ilalang dan hutan bambu bergerak, berjalan, berlari, melawan arah jarum jam secepat kereta eksekutif jurusan Surabaya-Bandung. Tubuhku tehuyung, dan roboh dalam posisi merangkak. Rasa ingin tahuku masih menyeruak. Kuat sekali. Dengan sisa tenaga, kupaksakan tubuhku mendekati gundukan tanah paling dekat dengan merangkak. Suara menderu itu telah pergi saat aku telah mencapai gundukan. Tapi, langkah seekor kuda mendekat pelan menuju ke arahku. Aku sudah tak memiliki tenaga untuk menyangga kepalaku. Tubuhku tengkurap memeluk gundukan tanah yang mulai didekati langkah seekor kuda itu.

Samar-samar mataku menerawang, seorang penunggang kuda putih yang gagah di hadapanku. Tubuhnya terbalut kain putih. Wajahnya bertopeng perak dengan sorot mata yang tajam seakan ingin memotong-motong tubuhku menjadi lima. Rambutnya putih panjang, bercahaya. Jenggot dan kumisnya pun putih tak rapi. Dua buah gigi taringnya meneteskan darah, menyeringai, menyeramkan--seperti mau melumat leherku dan menghisap darah segar perjakaku hingga habis, seraya berkata, “Inilah kekuatan abadi.”

Lemas. Tak sedikit pun denyut jantungku terasa, “Sepertinya aku telah mati.”

***

Malam datang tanpa permisi. Tak terasa, jiwaku melayang ke alam gelap di balik hutan bambu. Tak terdengar suara manusia berbicara. Hanya mantra-mantra yang tak kupahami, dan diakhiri dengan suara lolongan serigala, keluar keras dari mulut bertaring puluhan lelembut yang wajahnya tak kukenali. Persis seperti penunggang kuda siang tadi. Kakinya tak menginjak tanah, melayang. Hampir semua penghuni kampung gaib ini memiliki rupa yang sama. Mereka memutar cepat searah jarum jam mengitari tubuhku. Terbujur kaku, tak bisa bergerak di atas tumpukan bambu Bungkok kering. Di bawah purnama yang menyinari wajahku, mantra-mantra itu semakin menyiksa. Tubuhku seperti diikat kuat roh-roh lelembut yang keluar dari mulut bertaring itu. Takutku menjadi basa, “Akulah korban berikutnya untuk dewa sesembahan mereka.”

Pasrah.

Tak bisa menjerit meminta tolong. Lidahku kelu, seperti dibungkam raksasa besar, Algojo para lelembut topeng perak. Tangan dan kakiku kaku, layaknya habis direndam salju berhari-hari.

Hatiku menjerit ketakutan, “Jangan bakar aku! Jangan memanggangku!”

Purnama seperti mendengar ratapan hatiku. Ia meredup—seiring awan tebal gelap yang menutupinya. Halilintar menyambar-nyambar persis di atas kepalaku.

Hatiku berharap cemas, “Wahai, hujan turunlah sederas-derasnya!”

Tapi, awan-awan tebal gelap yang menyebarkan halilintar itu mulai menipis. Sinar purnama terlihat samar-samar di balik gumpalan-gumpalan awan. Dengan cepat gumpalan awan membentuk kepala orang tua yang besar. Berkumis dan berjenggot putih, menyeramkan. Inikah raja lelembut topeng perak. Matanya merah padam. Ia tak bertopeng. Keriput di pipinya menandakan sudah berabad-abad ia menghuni kampung gaib. Giginya pun bertaring—meneteskan darah segar yang jatuh tepat di keningku.

Lalu. Kepala awan besar itu menyemburkan api. Melingkar di belakang puluhan lelembut topeng perak. Mereka masih membaca mantra-mantra yang diakhiri suara lolongan serigala. Terkadang, lolongan-lolongan itu bersaut-sautan. Api semakin tinggi membahana, membuncah, menjilat-jilat, seperti terpengaruh oleh kekuatan mantra-mantra yang dibaca semakin keras dan cepat oleh mulut-mulut bertopeng itu.

Lusaza… lusaza… bandaza… bandaza…
auuu… auuu… auuu….

Hatiku sudah tak berani berkutik. Kosong. Hampa. Bening, tanpa keinginan. Pasrah, tanpa harapan. Hasrat hidupku tiba-tiba berhenti.

Di atas kepalaku, bayangan orang-orang dekat melayang-layang. Menunjukkan raut muka kesedihan. Ibuku mengucurkan air mata tiada henti. Ayah mencopot kaca mata baca dan mengusap matanya yang berlinang air mata. Kakak menangis sesenggukan, menutup mulutnya dan melambaikan tangan kepadaku. Pak Kholik, guruku paling penyabar di sekolah terdiam kelu sambil merapatkan kedua telapak tangannya menutupi hidung dan mulutnya. Bik Emi, pembantuku di rumah, tersenyum sambil menangis dan mengacungkan jempolnya pertanda salut atas keberanianku menghadapi maut. Yani, teman sebangku di sekolah, menunduk tak berani menatapku. Mereka sepertinya merasakan penderitaan yang saat ini kualami. Meski tak tahu di mana aku berada. Mereka seperti larut dalam ketidakberdayaan dan kesendirianku saat ini. Mungkin karena aku sering menceritakan kepada mereka isi novel-novel yang pernah kubaca. Novel-novel hadiah ulang tahun dari kakakku.

***

Samar-samar mataku terbuka. Telingaku mendengar pembicaraan yang begitu riuh di sekelilingku. Perkataan mereka tak bisa kutangkap. Kepalaku masih pusing. Pandangan mataku masih belum juga jelas, kabur. Aku berusaha memelototkan mata. Berat. Hanya warna-warna tak berbentuk bersemayam di pelupuk mata. Merah, hijau, biru, dan coklat. Bergerak lamban layaknya campuran cat minyak yang diaduk pelan.

Lidahku masih kelu. Suara riuh itu semakin menyeruak--seperti membungkam mulutku. Orang-orang semakin mendekati tubuhku yang mulai bergerak. Meski masih terbaring lunglai. Masih tak jelas suara mereka. Berkali-kali aku berusaha untuk membelalakkan mata. Tetap saja, warna-warna memburam itu yang tampak. Semakin lama kurasakan menusuk mata. Mataku sedikit mulai melihat.

Tepat di telingaku, suara lembut seorang lelaki mendengung, “Nak, kamu sudah sadar?”

Jiwaku mulai kembali. Dalam hati kubertanya sendiri, “Di mana aku ini?”

Hidungku seperti tak mengenal tempat kuberbaring. Baunya seharum rebusan daun pandan. Natural. Alami.

Ternyata. Ibu-ibu, perempuan-perempuan perkasa, merubungku. Puluhan dunak dipenuhi berbagai macam kue basah berjajar--dua meter di sebelah kananku. Inilah pemandangan indah yang pertama kali kulihat, setelah satu jam rabun. Kampung penjual kue pasar yang telah lama kudengar dari ibu. Beliau adalah mantan bidadari penjual kue basah di Pasar Sruwen. Bidadari yang berjalan sepanjang sepuluh kilometer dari bukit ke pasar di waktu fajar. Setelah menikah dengan ayah, ibu mengurus rumah di balik Bukit Sruwen--rumah kami. Sesekali berkunjung ke Sruwen menengok nenek. Namun, sepeninggal nenek, saat aku masih berumur tiga bulan, ibu tak pernah ke Sruwen lagi.

Aku tersenyum. Puluhan bidadari itu serempak menyambut siumanku, “Alhamdulillah!”

Senyumku semakin mengembang. Di ruang tengah sebuah rumah gedek, di atas balai bambu, aku masih terbujur. Dua buah genting kaca membiaskan sinar punama yang belum hengkang dari fajar. Jam dinding butut tertempel di salah satu sisi gedek. Lampu teplok kecil menyinarkan cahaya di atasnya. Jarum pendek menunjuk angka empat.

Para Bidadari telah pergi membawa dunak-dunak di punggungnya. Mata mereka membinarkan optimisme, yang tak pernah kulihat di mata pejabat mana pun. Punggungnya adalah masa depan anak-anak Bukit Sruwen yang sekolah di kota Kecamatan, dua puluh kilometer dari rumah. Kaum lelaki tidak bisa diandalkan dengan pekerjaan bertaninya. Di masa kemarau begini, cangkul-cangkul mereka bersih dari tanah berwarna hitam, lempung Bukit Sruwen. Maka, jangan heran kalau perjudian semakin marak saja. Selain menjadi petani tanpa penghasilan, mereka hanya bisa berjudi. Maklum, Sekolah Dasar saja tidak lulus. Sebenarnya mereka ingin berubah. Setiap di tanya tentang cita-cita anaknya, mereka selalu cepat menjawab: dokter, insinyur, wartawan, atau, pengusaha. Dengan ilmu dan modal yang minim, mana mungkin mereka berubah. Kata ayah, “Mereka adalah tanggung jawab pemerintah.”

Orang tua seumuran kakekku datang mendekat. Pakaiannya seba putih, berkopiah, seperti habis salat subuh. Giginya habis dimakan usia. Hanya dua gigi taring terlihat kokoh saat tertawa. Sepertinya dia tidak pernah menggunakannya untuk makan daging sate kambing. Dia mengaku sebagai penjaga Kuburan Cungkup di tanah lapang.

Semenjak itu, aku baru tahu bahwa dialah Satria Cungkup, pengusir kawanan serigala yang menggali kuburan-kuburan baru dengan kuku-kuku hitamnya. Menurut orang-orang, segerombolan serigala bersembunyi di balik hutan bambu yang aku temui kemarin. Serigala itu memiliki kepala berbulu lembut, berwarna perak. Tak heran jika orang kampung menyebutnya lelembut topeng perak. Penyebutan itu sama melegendanya dengan gelar Satria Cungkup yang di berikan secara turun menurun kepada penjaga kuburan. Tapi, saat di tanah lapang kemarin, sama sekali tak terlihat ada kuburan yang disebut-sebut sebagai Kuburan Cungkup itu.

“Ah, liburan ini aku terlalu banyak menonton televisi. Hampir semua acaranya berbau klenik dan alam gaib imajinasi sang sutradara.” gumamku dalam hati.

“Aku adalah kakekmu. Ayah dari ibumu.” suara kakek tua itu berat, membuatku merinding.


Selisik Diaspora
Yogyakarta, 23 September 2006

--------------------------------------------------------
Muttakhid eL Fahmi lahir di Rembang, Jawa Tengah. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Buku pertamanya: Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (2005).
--------------------------------------------------------
Foto :http://lifestylemagazine.wordpress.com
Selengkapnya...

Rabu, 04 November 2009

Awakening

Oleh : Asep Saefullah


Semoga dapat menjadi pembelajaran..atas apa yang telah terjadi.
Agar dikemudian hari tak terjerembab lagi pada lubang-lubang kepahitan.

----------------------------------------------------------------------

Asep Saefullah tinggal dan lahir di Brebes Jawa Tengah. Adalah seorang desainer grafis otodidak.

-----------------------------------------------------------------------
Foto : http://wizardnow.wordpress.com
Selengkapnya...

Selasa, 03 November 2009

Ontologi Musik

Oleh : Gugun Arief Gunawan


Musik berawal dari suara. Ada jutaan suara di dunia ini, yang tak semuanya bisa didengar manusia. Manusia hanya bisa mendengar suara dalam batas frekuensi tertentu. Frekuensi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tak bisa didengar manusia. Tapi suara itu tetap hadir. Dengan demikian, keadaan tanpa suara tak benar-benar ada. Karena setiap saat atom-atom di semesta ini terus bergetar. Dan suara....berasal dari getaran.

Manusia mengambil beberapa suara tertentu saja untuk mereka gubah menjadi musik. Pada awalnya mereka mengambil ritme. Irama adalah bagian dari sifat alam. Bumi berputar dalam periode yang konstan, pergantian musim yang mengikutinya, jalannya hari-hari dll merupakan manifestasi dari irama. Manusia sebagai bagian dari alam memiliki perasaan (sense) terhadap keberadaan irama secara alami. Dengan demikian mereka bisa mengenali irama yang mewujud dalam bentuk apapun. Karena manusia makhluk yang bernalar, mereka bisa mengimitasi sense of rhytm itu dalam karya mereka. Manusia bisa menciptakan bentuk-bentuk yang teratur dan berpola.

Bentuk musik paling awal mungkin berupa permainan perkusi yang menonjolkan irama. Ini adalah perkembangan musik pada tahap dasar. Lalu manusia tertarik pada bermacam-macam jenis bunyi. Sehingga alat-alat musik berkembang lebih jauh lagi. Mereka menciptakan alat yang bisa menghasilkan bunyi yang lebih teratur, halus dan enak didengar. Mereka juga mengembangkan alat musik yang bisa menghasilkan bermacam-macam bunyi. Berbeda tinggi rendahnya.


Dari situlah manusia baru kemudian bermain dengan melodi, sederet bunyi yang disusun karena perbedaan tinggi dan rendahnya. Tak lama kemudian ditemukan bahwa kombinasi urutan tertentu dari bunyi menciptakan nuansa yang berbeda. Saat itulah tangga nada mulai dikenal. Kemudian manusia mengutak-atik deretan bunyi tersebut, lalu disusunlah hukum-hukum harmoni yang pertama. Ditemukan bahwa 2 nada atau lebih jika disusun akan menciptakan nuansa tertentu. Juga diketahui bahwa antar nada memiliki keterkaitan tertentu yang berpengaruh pada kenikmatan mendengar lagu.

Harap diingat bahwa persepsi artistik dan estetik manusia selalu berkembang. Pada masa tersebut hukum-hukum tersebut sangat dipatuhi sehingga jika ada karya yang melenceng dari hukum tersebut, maka karya tersebut dianggap tidak indah. Rule of art semacam ini menjadi pedoman berkarya para musisi selama beberapa kurun waktu. Sampai ada seseorang yang kemudian berani merubahnya. Kesimpulannya, persepsi estetika manusia pun bergerak. Seperti halnya pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat.


Unsur musik utama adalah nada, irama, harmoni, melodi, timbre


nada=satuan terkecil dari musik
irama=pola gerakan nada yang berulang
harmoni=paduan 2 nada atau lebih yang menimbulkan nuansa tertentu
melodi=gerakan tinggi rendah nada yang berlandaskan irama dan harmoni
timbre=warna suara

Jadi apakah musik?

Seperangkat nada yang digubah dalam susunan dan durasi tertentu. Jadi waktu merupakan hal yang sangat penting dalam musik.

Jika kita menilik makna dasar dan melihat asal-usul nada, musik atau bukan menjadi tak berarti. karena semua adalah bunyi. Seperti melihat proton, dan neutron dimana materi tak memiliki batas lagi. Apa bedanya proton dan neutron sebuah meja dengan yang ada pada tubuh manusia? Apa bedanya satu getaran yang menghasilkan nada C pada karya Mozart dengan getaran yang menggerakkan daun-daun di hutan Kalimantan?

Sunyi dalam musik

Sunyi tak pernah benar-benar ada selama atom-atom semesta bergetar. Tapi karena keterbatasan indera manusia (di mana kita harus bersyukur karena itu) ada bunyi-bunyi yang tereliminasi dari pendengaran manusia. Dalam musik ada beberapa bagian yang kosong (pause) meski itu cuma sepersekian detik. Jadi musik tak melulu nada yang bergerak tapi jalinan antara bunyi dan sunyi. Komposer Amerika, John Cage, pernah membuat terobosan dengan membuat komposisi yang hanya terdiri dari sunyi.

Inilah pemahaman dasar tentang musik.
---------------------------------------------------------------------------
Gugun Arief Gunawan, seorang komposer otodidak, beliau belajar menulis skor musik dengan membaca dan mendengarkan. Sekarang tinggal di Blitar Jawa Timur.
---------------------------------------------------------------------------
Foto : http://gugunarief.blogspot.com/
Selengkapnya...

Prolog


Ketika terbit fajar, udara segar menjadi pusat perhatian makhluq khususnya manusia

Satu sisi sudut kehidupan tampak tuan-tuan besar sedang berlari-lari santai menikmati udara pagi hari

Lelah sejenak secangkir teh dan sepotong roti telah siap menanti di pelataran serambi

Bersandar duduk di atas kursi sambil menikmati secangkir teh dan sepotong roti, aduhai nikmat sekali

Bahagianya si tuan besar, pagi-pagi isi perut sebagai salah satu kebutuhan nafsu telah terpenuhi

Begitu pula berkat kemajuan teknologi, berita informasi melalui TV dan koran pagi dapat diketahui secara dini

Perang, politik, ekonomi bahkan segala macam bentuk perbuatan tindak kriminal telah pula tersaji dengan rapi

Cemas, khawatir dan berbagai macam gejolak muncul sebagai imbas dari berita informasi

Anak-anak yang manis tidak pula ketinggalan, mereka mengikuti gejolak informasi globalisasi

Ibarat sawah tidak berpematang, demikianlah informasi teknologi merasuki jiwa anak yang masih dini

Apa yang terjadi? Kenakalan remaja sebagai cuatan hasil rekaman kecanggihan teknologi

Demikian itulah, pagi-pagi jiwa yang seharusnya mencuatkan kesegaran, ternyata resah gelisah yang tak teratasi

Begitu pula ketika mentari hilang di ufuk Barat di senja hari

Kerlap-kerlip lampu hias di tempat-tempat melantai, tersenyum sedup menjanjikan kenikmatan tersendiri

Hasrat muda bergejolak ingin menikmati segala yang sudah tersaji

Oh kasihannya kau generasi muda tunas bangsa, jiwa yang begitu renta masih dilanda gejolak budaya globalisasi

Kembali semua ini karena kemajuan teknologi memberikan segala kemudahan untuk bergejolaknya diri

Al-Qur’an yang sebenarnya sebagai penentram hati, nyaris tidak bisa diambil berita informasi

Dia Al-qur’an seakan terpandang sebagai kitab tua yang bisu terhadap informasi teknologi

Namun di sisi lain di salah satu pelosok kehidupan yang belum dijamahi kemajuan teknologi

Tampak wajah-wajah lugu berkaki telanjang menyambut fajar pagi menelusuri pematang padi

Berita pagi mula pertama yang mereka dapati adalah senyum alam bersahabat memberikan janji

Nurani polos menyambut isyarat alam tepat sasaran menentukan musim semi

Begitulah si tani lugu, hari ke hari isyarat alam sebagai sumber informasi

Begitu pula bocah-bocah lugu negeri hanya dengan sepotong ubi menyambut pagi

Berangkat ke sekolah terpandanglah guru sebagai sumber pengetahuan utama informasi

Demikian agung kedudukan guru di mata bocah-bocah yang tidak terjamah kemajuan teknologi

Senandung lagu himne guru tertanam dalam di jiwa bocah-bocah membentuk keluhuran budi

Salah satu syair berkesan-dalam seakan memacu semangat bocah-bocah untuk bangkit membangun kemakmuran negeri

Wahai guruku ”setiap saat ku dibimbingnya agar tumbuhlah bakatku”

Sedang mereka tak mampu menjadikan isyarat alam sebagai wahana pengembangan potensi diri

Begitu pula ketika mentari hilang di ufuk Barat di senja hari, lampu-lampu sumbu mulai tampak menari-nari

Sekedar untuk menerangi jiwa-jiwa yang telah lelah bercengkrama dengan alam di siang hari

Jadilah malam yang sunyi dengan lampu-lampu sumbu sebagai pakaian beristirahatnya diri

Demikian itulah di sudut kehidupan yang masih perawan jauh dari jamahan kemajuan teknologi

Alam dan guru, dua tokoh sejati sebagai modal penggerak semangat untuk membangun kemakmuran negeri

Mereka yang berjiwa lugu-lugu itu nyaris tidak mengenal apa yang dinamakan kemajuan teknologi

-----------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku PENDIDIDIKAN TERPADU BERSIFAT QUR'ANI-Sebagai Butir Pandangan Menghadapi Era Teknologi, oleh Ki Moenadi MS.
-------------------------------------------------------------------------
Foto : Koleksi Pribadi
Selengkapnya...